***** PAGUYUBAN KELUARGA BESAR PARA PRAJURIT TNI-POLRI PONDOK AFI - SATU HATI SA SATU JIWA SATU KORSA *****

Rabu, 16 Agustus 2017

REFLEKSI HARI INI : Kegembiraan Nasional



         Apapun aliran politiknya menjadi kurang penting di hadapan perayaan Agustusan. Antar orang tua boleh saja perang dingin lantaran pilihan presiden mereka berbeda. Perbedaan lima tahunan, yang lima tahun lalu pun masih terasa dan kini sudah harus bersiap di lima tahun kedua yang disinyalir dengan sumber ketegangan yang sama, tetapi lihatlah anak-anak mereka yang berkarnaval besama keliling kampung, lomba mengigigit pepaya berjelaga dan makan krupuk.


         Begitu gembira anak-anak ini sampai demikian menggembirakan orang tua mereka yang kemudian ganti ikut-ikutan gembira dan lupa pada aliran poltiknya. Mereka keluar rumah mengecat jalan-jalan, mengibarkan bendara, spanduk dan umbul-umbul, memasang lampu-lampu tambahan dan menyelenggarakan aneka lomba kalau perlu dengan cara menutup aneka gang dan meminjam kavling-kavling kosong yang semula rapat berpagar walau ia tanah nganggur belaka.

         Kegembiraan bersama telah memantik kedermawanan sosial yang hanya Agustusan lah yang sanggup memanggilnya tentu atas kehendak Tuhan. Jika anak-anak harus pentas menari, ibu-ibu akan turun tangan menjadi pelatihnya. Ketika anak-anak berkumpul saja belum, sang pelatih telah muncul dua jam sebelum jadwal. Semangat, gembira, lupa waktu, lupa tenaga, lupa bahwa mereka juga masih harus saweran dana. Lalu dengarlah teriakan-teriakan dari ajang lomba. Mereka adalah atlet-atlet dadakan yang otot dan refleksnya sama sekali tak terlatih.

         Pukulan mereka sama sekali tak mengarah seperti apa yang diharapkan. Lihat bagaimana gaduhnya langkah atlet bulutangkis palsu ini dalam mengejar shuttlecock. Jika pemain sekaliber Taufik Hidayat hanya butuh menggeser kaki untuk mengejar kemana laju bola, bapak-bapak ini bisa berlari segaduh kabur dari bencana gempa bumi, itupun sasaran tak terkejar pula. Lalu dari lapangan tenis meja, teriakan mereka sama sekali tak sepadan dengan mutu permainannya. Jika di pertandingan besar, dua master petenis meja bisa melakukan rally sampai bermenit-menit, di meja tarkam ini bahkan sejak dari pukulan servis saja sudah mati. Tetapi jangan diragukan ketegangan mereka, keringat mereka dan kesunguhan mereka. Jika bola mati, mereka bisa menyumpah-nyumpah sampai terdengar ke tetangga desa, walau itu adalah sumpah untuk diri mereka sendiri.

         Lalu perayaan pentas di malam harinya, itulah puncak selebrasi. Anak-anak yang hendak menari telah bebedak sejak bedug asar. Ketupa panitia, Pak RT, Pak RW yang harus memberi sambutan sudah pening dengan corat-coret konsep yang tak juga jadi dan tak mantab di hati. Ketegangan para pejabat gurem ini tak kalah dibanding pembaca pidato kenegaraan resmi. Penuh persiapan, penuh stres dan tekanan. Dan lihatlah barisan para musisi. Bagi maniak karaoke, sudah sejak seminggu lalu memesan daftar lagu. Para pemeitk gitar amatiran, pemain drums dadakan dan peniup terompet yang jika sudah beraksi di panggung dengan terompetnya, seolah-olah dunia ini tak ada. Matanya akan terpejam-pejam demikian menyayat padahal bunyi yang keluar tak seberapa.

        Apakah semua kekurangan itu penting? Tidak. Karena yang penting adalah perasaan mereka sebagai orang merdeka!

SUMBER : FB PERI GS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kisah Mbah Soegito, Ditangkap Belanda dan Disiksa Demi Indonesia

Soegito (90), seorang kakek yang tinggal di rumah kuno di Jalan Kesatrian G27 Semarang ini masih ingat betul suara desingan senapan dan te...