***** PAGUYUBAN KELUARGA BESAR PARA PRAJURIT TNI-POLRI PONDOK AFI - SATU HATI SA SATU JIWA SATU KORSA *****

Selasa, 02 Januari 2018

Kisah Mbah Soegito, Ditangkap Belanda dan Disiksa Demi Indonesia

Soegito (90), seorang kakek yang tinggal di rumah kuno di Jalan Kesatrian G27 Semarang ini masih ingat betul suara desingan senapan dan teriakan teman-temannya 70 tahun lalu. Kala itu ia ikut bejuang melawan tentara Jepang meski bukan dari kalangan militer.

Saat ditemui di rumahnya, Soegito langsung menyapa dengan ramah. Hanya dengan sedikit kata-kata pembuka obrolan, ia langsung bersemangat menceritakan kebanggaannya bisa turun langsung membela negara. Sejak usia 20 tahun, Soegito sudah memiliki semangat juang, ia dan teman-temannya maju ke medan perang membawa senjata hasil merampas penjajah.

"Saya itu pernah perang di Kroya, ketika masih ada Jenderal Soedirman," kata Soegito saat ditemui detikcom di rumahnya.


Beberapa bulan setelah itu tepatnya 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Soegito kala itu mengira perang dengan Belanda maupun Jepang telah berakhir, ternyata Belanda justru kembali dan melakukan agresi.

Angkatan militer dan warga Indonesia kembali berjuang melawan Belanda. Kakek asli Lumajang itu kembali melawan tentara asing di Surabaya. Ia dan kelompoknya bergerilya ke tempat tentara Belanda dan merebut senjata kemudian saling tembak.

"Waktu itu saya tidak ada kesatuannya. Ya warga biasa ikut perang. Senjata-senjata Belanda saya pakai, hasil rampasan," kata kakek kelahiran 7 November 1925 itu.

Soegito menuturkan, saat berada di medan perang ia membuang jauh-jauh pikiran takut mati. Ia hanya ingin Indonesia benar-benar merdeka sehingga rela nyawa menjadi taruhannya. Kenangan kehilangan rekan-rekannya pun baru dirasakan setelah perang benar-benar usai.

"Kalau perang itu takut sudah tidak ada. Selama masih dengar suara tembakan, berarti saya masih hidup. Teman-teman yang meninggal jelas banyak," ujarnya.

Meski tidak ada satu pun peluru yang menggores kulitnya, Soegito ternyata pernah tertangkap tentara Belanda dan disiksa. Ia dan ribuan warga yang ditangkap dicecar pertanyaan.

"Ya disiksa, disetrum supaya mengaku. Ditanya 'siapa pemimpinmu?' kemudian 'di mana temanmu?'. Saya tetap tidak mau mengaku," katanya.

Setahun kemudian atau 1949 setelah Konverensi Meja Bundar digelar, Belanda dan Indonesia sepakat mengembalikan tahanan. Soegito pun akhirnya bebas dan bisa berkumpul lagi bersama keluarga.

"Belanda dan Indonesia ada perundingan saat itu. Kemudian saling menyerahkan tahanan. Ada ribuan yang dibebaskan," tutur Soegito.

Beberapa tahun kemudian, Soegito bergabung dengan kesatuan Polisi Militer dan menikahi kekasihnya, Murniken. Namun perjuangannya belum berakhir dan justru menurutnya semakin sulit karena ia harus berperang melawan bangsa sendiri yang kemerdekaannya diperjuangkan mati-matian.

"Setelah perang, ikut TNI, ikut gerilya, kan ada pemberontakan. Termasuk PKI, melawan bangsa sendiri," tegasnya.

Peperangan demi peperangan sudah ia lalui sejak 70 tahun silam. Kini kakek yang berpangkat terakhir kapten itu hidup di rumah dinas bersama anak-anak dan cucunya yang masih berada di Semarang.

Kehidupan tenangnya selama puluhan tahun di rumah dinas ternyata masih diselimuti kekhawatiran. Ia khawatir jika sewaktu-waktu rumah dinas tersebut akan dimanfaatkan oleh anggota TNI lainnya dan ia bersama keluarganya harus pindah, sedangkan saat ini Soegito belum memiliki rumah.

"Tinggal di sini aman, nyaman. Tapi kalau kita diusir, kita ya tidak tahu, kita ikut saja. Sekarang belum ada rumah," kata kakek dari 12 cucu itu.

Barang berharga yang dimiliki Soegito yaitu Piagam Tanda Kehormatan Satyalancana Perintis Kemerdekaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2013 lalu. Tidak mudah mendapatkan piagam tersebut, Soegito harus membuat proposal kemudian diperiksa riwayat kehidupannya dan diwawancara ke Jakarta.

"Aturannya memang gitu, bukan pemerintah yang datang mencari. Ya semoga piagam ini bisa bermanfaat. Saya juga dapat tunjangan-tunjangan," tegasnya.

Sebagai seorang veteran perang yang memperjuangkan kemerdekaan, Soegito merasa miris ketika melihat murid-murid sekolah tawuran yang menandakan rendahnya moral yang tega melawan bangsa sendiri.

"Jangan sampai ada bentrokan antar bangsa sendiri. Kalau lihat ngeri, lihat remaja tawuran itu sedih," tutup Soegito.

Sumber  : Detik.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kisah Mbah Soegito, Ditangkap Belanda dan Disiksa Demi Indonesia

Soegito (90), seorang kakek yang tinggal di rumah kuno di Jalan Kesatrian G27 Semarang ini masih ingat betul suara desingan senapan dan te...