***** PAGUYUBAN KELUARGA BESAR PARA PRAJURIT TNI-POLRI PONDOK AFI - SATU HATI SA SATU JIWA SATU KORSA *****

Rabu, 23 Agustus 2017

Syarat Seorang Penipu

      Seorang teman mengeluh tentang teman baiknya yang tega menipu. "Bukan cuma apa yang ditipu, tetapi siapa yang menipu, itulah yang menyakitkan hatiku," kata si teman ini. 





      Aku tak hendak meyangkal pernyataannya. Pertama, tak baik pihak sedang menderita bukan mendapat bantuan, tetapi malah mendapat penyangkalan. Kedua, semakin dekat seseorang dengan kita, akan menjadi penuh harapan kita kepadanya. Itulah kenapa ditipu teman dekat, dua kali lipat kesakitannya. Karena menjadi selalu baik dan selalu dipercaya, itulah harapan kita kepada teman dekat. Menjadi semakin dekat, semakin banyak syarat yang kita tetapkan kepadanya. Maka ketika ia semakin dekat tapi semakin tidak bisa dipercaya, adalah kesakitan ekstra.

     Tapi aku tergoda dengan kata "tapi" yang jamak menjadi kebiasaan hampir seluruhnya dari kita ketika tengah berhadapan dengan persoalan tertentu. Misalnya jika kita adalah pihak bermasalah dan butuh nasihat. Contohnya begini: kamu ngerti perbuatanmu itu sesat. Maka bertobatlah. Percayalah, sembilan dari sepuluh peminta nasihat cenderung akan menutupnya dengan kata: tapi.

      Ada yang: tapi kan tidak mudah untuk bertobat begitu saja. Ada yang: tapi butuh waktu dong. Ada yang: sudah kucoba, tapi gagal melulu. Begitu juga dengan teman yang sedang tertipu ini. Kata "tapi" tampak menjadi persoalan tebesarnya. Kata itu jauh lebih membuatnya menderita, katimbang perasaan kehilangan sesuatu hasil dari tertipu. "Tapi kan dia teman dekatku. Sudah seperti keluargaku," begitulah fokusnya terus menuju.

     Jadi betapa kata "tapi" itu adalah biang persoalan besar dalam hidup. Baiklah aku jelaskan urut-urutannya: tertipu dan kehilangan itu jelas sudah pendertaan. Tapi tenyata kita merasa tidak cukup menderita dan butuh menambahnya dengan menu ekstra, yakni karena teman baik itulah penipunya. Semua ini gara-gara ada banyak syarat yang kita tetapkan atas segala sesuatu, termasuk kepada para teman baik, teman dekat dan kepada para penipu itu.

       Kepada teman dekat itu misalnya, kita tetapkan syarat bahwa yang dekat itu selalu harus baik, terpercaya, dan tidak boleh menipu. Padahal kedekatan dan kepercayaan itu sesuatu yang sama sekali berbeda. Bagaimana mungkin dua soal yang berbeda harus dipaksa untuk menjadi sama dan satu. Pemaksaan itulah yang mendatangkan bermacam-macam persoalan dalam hidup. Maka jika rumusnya diubah: bahwa orang dekat juga boleh menipu, bahwa teman baik juga boleh menjadi buruk, bahwa kebaikan juga boleh dibalas keburukan, berbeda pula perasaan kita kepadanya.

       Kata boleh ini kalau tidak hati-hati, juga akan mendatangkan kata "tapi" lagi. Misalnya: tapi kan kejam sekali sudah diberi kebaikan malah membalas keburukan. Iya sih, tapi kan boleh, karenanya ternyata itu semua bisa terjadi. Lalu siapa yang memperbolehkan, ya hukum kemungkinan itu sendiri.

       Kepada sesuatu yang mungkin, manusia hanya bisa diberi ruang untuk kompromi. Tersedia berbagai bentuk pilihan kompromi, mulai dari yang rendah dan murah, hingga yang mahal dan tinggi. Tergantung selera dan kemampuan Anda. Boleh menderita sambil ngomel dn mengutuk kanan-kiri, boleh pula menderita sambil tetap menyalami tamu-tamu seperti biasa sambil ngobrol seolah tak pernah terjadi apa-apa. Sesuatu yang mungkin terjadi akan tetap terjadi jika memang harus terjadi, lepas apakah kita menolak atau menyetujui!

Sumber  :Peri GS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kisah Mbah Soegito, Ditangkap Belanda dan Disiksa Demi Indonesia

Soegito (90), seorang kakek yang tinggal di rumah kuno di Jalan Kesatrian G27 Semarang ini masih ingat betul suara desingan senapan dan te...