***** PAGUYUBAN KELUARGA BESAR PARA PRAJURIT TNI-POLRI PONDOK AFI - SATU HATI SA SATU JIWA SATU KORSA *****

Jumat, 08 Desember 2017

Cerita veteran perang lolos dari maut gara-gara buah pepaya



Mochammad Machdar (87) merupakan salah satu veteran perang dari Bandung. Dia berjuang melawan tentara NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) selama kurun waktu 1946 hingga 1949.

Pasca-Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, gelombang serangan Belanda di Indonesia belum berhenti. Perjuangan melawan tentara Belanda masih terus dilakukan oleh para pejuang-pejuang di kala itu.

Machdar masih ingat betul, saat itu sekitar tahun 1946, NICA datang ke wilayah Indonesia setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu pasca-perang dunia II. Bandung adalah salah satu lokasi strategis yang menjadi wilayah jajahan tentara Belanda bersama sekutunya.



Para pejuang di Bandung tak bisa tinggal diam melihat situasi ini. Sebab satu per satu wilayah mulai dikuasai oleh para tentara Belanda. Mereka pun melakukan perlawanan di Bandung. Machdar yang saat itu masih berumur 17 tahun ikut berperang melawan tentara Belanda.

"Bapa ikut tergabung di kelompok Hizbullah di bawah komando ajengan Aceng. Bapak dipercaya memimpin pemuda di wilayah Barat, salah satu lokasinya di Desa Rahayu, Cigondewah untuk melawan mereka," ujar Machdar kepada Merdeka Bandung saat ditemui di rumahnya Jalan Cibolerang Rt 03/01, Kelurahan Cigondewah Rahayu, Kecamatan Bandung Kulon, Rabu (11/11) lalu.

Hanya dengan berbekal bambu runcing dan senjata seadanya Machdar beserta pasukannya berhasil melumpuhkan tentara Belanda. Dia harus pintar-pintar memilih lokasi persembuyian, sebab bahaya selalu mengintai setiap saat.

Machdar kemudian bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian menjadi cikal bakal TNI saat ini. Di sini dia pun dipercaya menjadi komandan pleton. Dia menjaga wilayah barat dari mulai Babakan Ciparay hingga ke Cililin.

Suatu waktu, Machdar ditugaskan sebagai intel oleh satuannya. Dia bertugas memberikan informasi dengan menyamar memakai pakaian seperti petani. Suatu hari dia sedang melintas di kawasan Susumput, perbatasan Sungai Citarum. Di lokasi tersebut kebetulan ada tentara Belanda sedang berjaga.

Melihat Machdar melintas, para tentara Belanda pun menaruh curiga dengan mengatakan dirinya sebagai anggota BKR. "Tentara sekutu waktu itu bilang bapak BKR. Tapi Bapak bilang bapak bukan BKR," katanya.

Machadar lalu dibawa oleh tentara Belanda ke markas mereka di kawasan Situ Aksan. Di tempat tersebut diketahui menjadi tempat para tawanan para pejuang di Bandung. Machdar diangkut menggunakan truk. Setelah sampai di lokasi, dia diperintah untuk menunggu di dapur markas tentara Belanda, sebelum dijebloskan ke dalam penjara.

Machdar masih ingat situasi ketika itu sangat mengerikan, dimana sejumlah tawanan satu per satu ada yang dibunuh oleh tentara Belanda. Dalam ingatannya saat itu sempat terbesit nasibnya mungkin tak akan jauh dengan tawanan lain.

Saat Machdar berada di dapur, dia bertemu dengan istri komandan tentara Belanda. Sang Istri komandan pun sempat menanyakan apakah dia tentara BKR. "Tapi bapak bilang bukan dan enggak tahu," kenang Machdar.

Setelah beberapa saat berbincang dan meyakinkan bahwa dirinya bukanlah tentara BKR, istri komandan itu pun malah menyuruh Machdar memanjat pohon pepaya yang berada di sekitar lokasi. Saat itu Machdar hanya menurut saja apa perintah dari istri komandan itu.

"Bapak nurut-nurut saja apa yang diperintahkan, soalnya takut itu kan markasnya mereka," katanya.

Setelah itu, wanita itu percaya kalau Machdar bukanlah BKR. Saat akan dijebloskan ke penjara, wanita itu meminta kepada suaminya agar Machdar tidak dijebloskan ke penjara. Akhirnya, Mahdar pun lolos jadi tawanan tentara sekutu.

Berikutnya Machdar dibebaskan dan diantar kembali ke tempat asal saat dia ditangkap. "Bapak dibebaskan dan dikembalikan ke tempat asal saat ditangkap. Malahan Bapak dikasih makanan kornet, roti sama istri komadan itu," ujarnya.

Sesampainya diantar ke lokasi semula, petaka justru datang. Machdar dicap sebagai mata-mata Belanda oleh rekan sesama pejuang. Dia pun dilaporkan dan dibawa ke markas BKR oleh rekan-rekannya.

"Teman-teman para pejuang nuduh bapak sebagai mata-mata karena melihat diantar oleh tentara Belanda sambil membawa banyak makananan. Bapak dibawa ke markas dan diinterogasi sama komandan. Bapak jelaskan semuanya bahwa itu tidak benar dan akhirnya komadan percaya bahwa bapak tidak seperti itu," ungkap Machdar.

Perjuangan Machdar melawan Belanda terus berlanjut. Di Bandung sendiri puncaknya terjadi saat peristiwa Bandung Lautan Api. Sebagian besar dari tentara Belanda tewas akibat peristiwa tersebut. "Sejak saat itu peperangan melawan Belanda mulai berangsur menurun," terang Machdar yang kini tinggal bersama istrinya di Cigondewah.



Sumber    : merdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kisah Mbah Soegito, Ditangkap Belanda dan Disiksa Demi Indonesia

Soegito (90), seorang kakek yang tinggal di rumah kuno di Jalan Kesatrian G27 Semarang ini masih ingat betul suara desingan senapan dan te...