***** PAGUYUBAN KELUARGA BESAR PARA PRAJURIT TNI-POLRI PONDOK AFI - SATU HATI SA SATU JIWA SATU KORSA *****

Rabu, 30 Agustus 2017

Veteran Pelda Soemadji, Dulu Garang di Medan Perang Kini Jadi Pak RT dan Bapak Asuh

        Suara Pelda (Purn) Soemadji (77) masih bersemangat kala mengenang dan menceritakan kembali pengalamannya membela negara di Operasi Dwikora di Malaysia, Operasi Trikora di Papua hingga Operasi Seroja di Timor Timur bersama satuan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, kini Kopassus-red). 

Kini, dia menikmati masa tua, dengan tetap melayani warga, sebagai ketua RT dan bapak dari 22 anak asuh yang kurang mampu. Ditemani sang istri, Rusminah (73), Soemadji seperti bercerita pada cucunya kala menerima detikcom di rumahnya, RT 4 RW 7, Cijantung, Kelurahan Baru, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Selasa (17/3/2015) lalu. Ketegasan sebagai mantan tentara masih terlihat, suaranya masih jelas, ingatannya juga masih tajam. 

       "Selesai Operasi Dwikora itu banyak prajurit yang sakit malaria dan beri-beri. Malarianya luar biasa," tutur ayah dari 2 putri dan kakek dari 3 cucu ini. 
Selain latihan yang disiplin, memanggul senjata dengan berat luar biasa di hutan belantara, tak jarang bekal makanan yang dibawa para prajurit minim, nasi yang hanya tahan maksimal 2 hari plus lauk kering, serta roti kering. 

        "Bebannya berat tak didukung oleh makanan yang menunjang. Kita hanya makan kalau nasi bisa dimakan sampai 2 hari, lebih dari itu busuk. Kita bawa nasi dibungkus daun klontang, lauk seadanya, dendeng kering itu ditempelkan. Roti kering, dalam keadaan capek ndak bisa bisa makan seperti itu, dimakan kaya mau kembali, mawul-mawul," tuturnya. 
Sebagai tentara pembela negara, maut yang menjadi risiko perjuangan, setiap saat selalu mengintai. Setiap ditugaskan pada operasi militer, Soemadji setiap kali itu pula dia merasa hidupnya akan berakhir. 

       "Setiap operasi militer itu saya selalu berpikir, 'Saya akan mati hari ini'," kenangnya. 
Sang istri, yang dinikahi pada 17 Agustus 1965 itu, dikatakan Soemadji, sampai hanya tersisa tulang dan kulit saja saat ditinggal tugas dan menjaga 2 anaknya yang saat itu masih kecil. 

        "Pas Operasi Seroja di Timor Timur, itu di Kopassus setiap hari selalu saja ada bendera kuning, setengah tiang. Biasanya habis itu ada komandan yang menghadap kepada keluarga prajurit yang gugur. Berita kematian itu rasanya seperti tinggal menunggu giliran saja. Saya sampai tinggal kulit dan tulang," timpal Rusminah, yang juga mantan guru agama ini. Namun, Soemadji juga mengatakan sempat dikecewakan kesatuan karena seharusnya berpeluang menjadi perwira, namun kenaikan pangkatnya dari Serma menjadi Pelda ditunda hingga 7 tahun. 

      "Padahal Sesdanton saya nomor 3, tapi biar saja, saya tidak dendam," tuturnya. 
"Saya tak pernah menggembar gemborkan apa yang saya perbuat. Pernah ada penghargaan veteran, tapi saya tidak pernah urus," ujarnya enteng. 
Soemadji resmi mulai memasuki masa persiapan pensiun sejak tahun 1985 hingga akhirnya SK pensiun diteken pada tahun 1987. 

       "Saat pensiun itu saya tidak punya apa-apa, rumah tidak punya, tabungan tidak punya. Tidak terpikirkan, karena tugas terus di lapangan. Waktu pensiun itu sampai saya berdoa, ya Allah, biarlah saya yang sengsara, asal jangan keluarga saya," tuturnya. 
Kepada Komandan Kopassus saat itu Sintong Panjaitan, Soemadji meminta waktu 2 tahun lagi untuk menempati rumah. Soemadji lantas ditolong oleh Sunarto Sumoprawiro, yang belakangan menjadi wali kota Surabaya dan Hendropriyono, yang kemudian menjadi Kepala BIN. Mereka berdua memberikan rekomendasi pada Soemadji hingga akhirnya dia diterima bekerja di perusahaan Inggris hingga Pertamina, sebagai koordinator keamanan. Sempat juga dia bekerja di percetakan milik Menteri Penerangan saat itu, Harmoko. 

       "Pas dua tahun bekerja di perusahaan Inggris itu, saya bisa membeli rumah ini. Gajinya saat itu besar, Rp 600 ribu, pensiun saya Rp 90 ribu per bulan," kenangnya. 
Sejak tahun 2001, Soemadji dipercaya menjadi Ketua RT 4 RW 7 Cijantung, Kelurahan Baru, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Hingga tahun 2015 ini, menurutnya, belum ada yang mau menggantikannya sebagai Ketua RT. 

     "Alhamdulillah, RT ini pernah juara 4 se-Jakarta bidang kebersihan lingkungan. Kemudian, pernah juara 1 Gerakan Sayang Ibu di DKI," tuturnya.
Sejak tahun 1992 pula, Soemadji mulai memiliki anak asuh, membantu biaya sekolah mereka, Rp 200 ribu per bulan per anak. Pola anak asuh itu menarik perhatian rekan dan tetangganya yang kemudian turut menjadi donatur, termasuk rekan-rekannya di TNI. Hingga kini, Soemadji sudah memiliki 22 anak asuh. 

        "Anak-anak itu kami asuh sejak SD hingga lulus SMA, kemudian dapat kerja, berhenti dibiayai. Mereka yang bekerja kemudian malah ada yang ikut membiayai. Terus ada lagi yang baru, yang tidak punya bapak, ada saja, begitu terus berputar," tuturnya. 
Dia sangat bersyukur, menghabiskan masa tuanya masih tetap melayani warga dan masih bermanfaat bagi sesama. "Kadang kita diuji dengan kekurangan untuk mendapatkan kelebihan. Kesengsaraan ada bukan untuk membuat kita sengsara, namun untuk mematangkan pikiran," nasihatnya.

Sumber  : DetikNews


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kisah Mbah Soegito, Ditangkap Belanda dan Disiksa Demi Indonesia

Soegito (90), seorang kakek yang tinggal di rumah kuno di Jalan Kesatrian G27 Semarang ini masih ingat betul suara desingan senapan dan te...