☆ Kesaksian
Saleh Kamah
Tertembaknya pembom B-26 yang diterbangkan agen CIA, Allen
Pope, pada masa pergolakan Permesta (1958), masih diselimuti tabir. TNI AU
bersikeras, pesawat tersebut rontok dihajar Mustang yang diterbangkan pilot
Ignatius Dewanto. Tetapi Muhammad Saleh Kamal, seorang pensiunan wartawan
Antara, punya kisah lain. Berikut kesaksiannya.
Dua Maret
1957, Permesta (Perjuangan Semesta) diproklamasikan di Makassar dengan dukungan
50 orang tokoh militer dan sipil Indonesia Bagian Timur. Berbarengan dengan
proklamasi Permesta, Letkol H.N. Ventje Sumual, Panglima Tentara dan Teritorium
VII/Indonesia Timur (TT/VII) Wirabuana menyatakan seluruh wilayah TT-VII dalam
keadaan darurat perang serta berlakunya Pemerintahan Militer.
Perundingan-perundingan yang
dilakukan antara pemerintah pusat yang dalam hal ini Presiden Soekarno dengan
Permesta serta Dewan Banteng (PRRI) di Sumatera tidak mampu menyelesaikan rasa
ketidakpuasan daerah-daerah bergolak terhadap kebijaksanaan Pusat yang dianggap
sangat merugikan kepentingan (pembangunan) daerah.
Dengan dukungan Amerika Serikat
(AS) awal tahun 1958, tidak kurang 10 pesawat pembom-tempur plus para penerbang
bayarannya muncul di wilayah Sulawesi Utara dengan mengambil basis lapangan
terbang Mapanget (sekarang Bandara Sam Ratulangi), yang selanjutnya menjadi
inti kekuatan militer Permesta. Pada 13 April 1958, lapangan terbang Mandai
(sekarang Bandara Hasanuddin) Makassar dibom oleh Angkatan Udara Revolusioner
(Aurev) Permesta di bawah pimpinan Mayor Petit Muharto. Menyusul Pelabuhan
Donggala, Balikpapan, Ambon, Ternate, dan tempat lainnya menjadi target gempuran.
Kapal perang TNI AL RI Hangtuah satu dari empat korvet yang dihibahkan
Belanda yang sedang buang sauh di pelabuhan Balikpapan, dibom hingga kemudian
tenggelam.
Letkol Herman
Piters, komandan "Operasi Mena I" yang berada di atas kapal
pengangkut pasukan RI Sawega punya catatan sebagai berikut: "Sekitar jam
tujuh pagi 18 Mei 1958, saat kami sedang bersiap-siap untuk makan pagi,
sayup-sayup terdengar bunyi pesawat terbang. Saya yang berada di atas kapal
Sawega bersama Mayor Laut Sudomo memerintahkan seluruh pasukan bersiap.
Kapal-kapal perang yang dilengkapi peralatan mutakhir (kala itu) bergerak cepat
dalam formasi tempur. Kapal pengangkut Sawega dijaga ketat. Berbarengan bunyi
pesawat terbang, saya lihat bintik-bintik datang dari balik awan. Saya
berteriak pesawat musuh pesawat musuh siap siap. Benar dugaan saya. Dengan
kecepatan tinggi, pesawat yang kemudian kami kenal sebagai B-26 muncul sangat
rendah.
Kedatangan pesawat yang tidak
punya tanda-tanda itu kami sambut dengan rentetan tembakan. Penangkis serangan
udara yang ada di atas kapal perang memuntahkan tembakan-tembakan gencar.
Pertempuran udara dan laut berkobar. Sebuah bom yang dijatuhkan dari B-26
meledak pada jarak hanya kira-kira 50 meter dari buritan Sawega. Kapal berguncang.
Ketika B-26 akan menukik lagi
untuk mengadakan serangan tiba-tiba, saya lihat api mengepul di B-26. Terbakar!
Dalam keadaan terbakar itu nampak pesawat berusaha untuk naik dan membelok ke
arah timur. Namun tidak berhasil, malah jatuh ke laut. Dua parasut muncul dari
dalam pesawat yang sedang terbakar. Kami bersorak. Kedua parasut jatuh di
sebuah pulau kecil.
Saya bersama beberapa orang
perwira dan prajurit KKO Marinir dengan perahu karet bermotor menuju pulau
tempat jatuhnya kedua parasut. Kami temukan dua orang anak buah B-26 yang
tertembak. Sesudah diperiksa ternyata seorang berkebangsaan Amerika bernama
Allen Lawrence Pope dan seorang lagi berdasarkan dokumen yang dia bawa bernama
Pedro kelahiran Davao, Filipina, 1930 (dialah Harry Rantung, kopral AURI di
pangkalan Morotai yang kemudian bergabung dengan Permesta).
Dokumen yang
ada di tangan Pope disita. Namun sebuah dompet yang berisi uang dan selembar
foto (istrinya) dikembalikan. Dari dokumen yang ada diketahui Pope punya kode
11 (sebelas) sebagai tentara sewaan yang digerakan CIA (Central Intelligence
Agency) untuk mengacau Pasifik." Demikian penuturan Piters kepada penulis
di Desa Poka, Ambon, 28 Juni 1996.
☆ Kontroversi Soekarno-Allen Pope
CIA juga
pernah kena batunya di Indonesia. Selain tidak bisa menjinakkan bahkan
berkali-kali gagal membunuh Presiden Sukarno, CIA dibuat malu dan dipermainkan
oleh Presiden Pertama RI itu. Pemicunya adalah tertembaknya pesawat PRRI /
Permesta yang ternyata dipiloti oleh Allen Lawrence Pope. Dari dokumen yang
disita, terbukti Pope adalah anggola CIA.
Soekarno
memainkan bola panas Pope ini dengan memperdayai dua Presiden AS sekaligus
yaitu Eishenhower dan JF Kennedy. Dengan licin Soekarno memelintir keduanya
sehingga terpojok dan menukar Pope dengan beberapa keperluan Indonesia. Salah
satu di antaranya adalah terbentuknya skadron angkut (pesawat) Hercules bagi
TNI AU. Pope yang sempat disidang dan terancam hukuman mati, akhirnya dibebasan
diam-diam saat permulaan hari.
·
Sumber :permesta & sejarahperang
Kedatangan pesawat yang tidak punya tanda-tanda itu kami sambut dengan rentetan tembakan. Penangkis serangan udara yang ada di atas kapal perang memuntahkan tembakan-tembakan gencar. Pertempuran udara dan laut berkobar. Sebuah bom yang dijatuhkan dari B-26 meledak pada jarak hanya kira-kira 50 meter dari buritan Sawega. Kapal berguncang.
Ketika B-26 akan menukik lagi untuk mengadakan serangan tiba-tiba, saya lihat api mengepul di B-26. Terbakar! Dalam keadaan terbakar itu nampak pesawat berusaha untuk naik dan membelok ke arah timur. Namun tidak berhasil, malah jatuh ke laut. Dua parasut muncul dari dalam pesawat yang sedang terbakar. Kami bersorak. Kedua parasut jatuh di sebuah pulau kecil.
Saya bersama beberapa orang perwira dan prajurit KKO Marinir dengan perahu karet bermotor menuju pulau tempat jatuhnya kedua parasut. Kami temukan dua orang anak buah B-26 yang tertembak. Sesudah diperiksa ternyata seorang berkebangsaan Amerika bernama Allen Lawrence Pope dan seorang lagi berdasarkan dokumen yang dia bawa bernama Pedro kelahiran Davao, Filipina, 1930 (dialah Harry Rantung, kopral AURI di pangkalan Morotai yang kemudian bergabung dengan Permesta).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar